Friday

Berjilbab tidak ada hubungannya dengan akhlak ; Just share


Berjilbab tidak ada hubungannya dengan akhlak

Dalam pandangan masyarakat kita, bahwa wanita berjilbab, adalah wanita yang identik memiliki tatakrama baik, wanita yang santun, yang kalem, rajin shalat, rajin berderma, sering hadir majlis pengajian dan berbagai predikat keshalihahan lainnya.

Oke, boleh jadi sebagian besar wanita berkerudung seperti itu. Sebaliknya, muslimah yang tak berkerudung, meski akhlaknya baik, tentu saja dipandang tak sebaik muslimah berkerudung, hal yang lumrah dan spontanitas terlintas dalam benak.

Akibatnya, jika ada kebetulan wanita berjilbab melakukan sesuatu yang kontradiktif dengan jilbabnya itu, seketika penilaian masyarakat menjadi njomplang sangat negatif sekali. Dan tentu saja jilbabnya seketika menjadi objek atas tindakan yang tak sesuai dengan moral pemakai jilbab. “Jilbaban tapi kok gitu”.

Akhirnya, sebagian muslimah yang tidak berjilbab pun, memilih tetap bertahan pada pilihannya, dengan pikiran sangat sederhana sekali, daripada aku tidak bisa menjaga sikapku saat mengenakan jilbab, lebih baik aku tidak mengenakannya sekalian, biarlah aku menjilbabi hatiku terlebih dahulu. Ntar aja jilbaban kalau udah mau wafat.

Menjilbabi hati, kalimat yang mendadak populer setelah boomingnya film ayat-ayat cinta, kalimat yang bisa jadi sudah lama berdengung tetapi dipopulerkan oleh Rianti Cartwright, ini setahuku.

Sebenarnya, fenomena di atas (pengidentikan jilbab dengan keshalihahan) adalah kesalahan pemahaman umum (salah kaprah) dalam masyarakat kita soal hubungan jilbab dengan akhlak. Oke, memang wanita yang shalihah, yang menjalankan agamanya dengan baik, tentu saja mengaplikasikan segenap perintah agamanya terhadap dirinya semampu dia, salah satunya adalah berjilbab ini.

Tetapi aku berani mengatakan, bahwa sebenarnya tak ada hubungan sama sekali antara jilbab dan berakhlak baik. Lhoh kok bisa?

Berjilbab, adalah murni perintah agama yang berhubungan dengan pribadi muslimah itu. Yakni, jilbab adalah kewajiban baginya dengan tanpa melihat apakah moralnya baik ataupun buruk. Jadi selama dia muslimah, maka berjilbab adalah kewajiban.

Tentu saja, jika ada muslimah tak berjilbab, itu pilihan dia, tetapi tentu sebuah konsekwensi dan merupakan kebijakan, apabila seseorang tidak menjalankan perintah, maka resikonya adalah sanksi. Dan sanksi syariat tentu saja adalah dosa.

Memang, bermoral baik adalah tuntutan sosial, di samping tentu ajaran agama. Akan tetapi semua kewajiban dalam agama, sekaligus larangan-larangannya, adalah tidak berhubungan dengan akhlak itu. Salah satunya ya masalah jilbab ini.

So, okelah seorang muslimah bilang, cukup aku jilbabi hati. Tetapi dia tetap harus mengakui bahwa berjilbab adalah wajib baginya. Siap tidak siap, baik tidak baik, kewajiban muslimah adalah berjilbab (dalam konteks bahasa umum, menutup aurat)

Catatan ini tidak menyoroti dan tidak mengangkat soal pendapat lucu yang menyatakan bahwa jilbab itu tidak wajib sebab hanya budaya arab. Komentar pendek saja, orang yang bilang seperti ini, tidak memahami sejarah dan tidak memahami teks syariat itu dengan baik. Argumen bertele-telenya dengan berusaha melogikakan ayat melalui permainan nahwu, ushul fiqh, mantiq, hanya membuat bahan tertawaan saja.

Kan ada tuh profesor besar lulusan timur tengah yang juga berpendapat gitu sehingga anak perempuannya tidak berjilbab. Catat, agama ini tidak melihat sosok, tidak melihat label seseorang. Meski besarnya pangkat seseorang itu seperti apa, kalau salah dalam tata cara memandang, maka tetaplah salah.

Well, kembali pada bahasan awal berhubungan dengan jilbab dan moral, jadi kalau kita surfing di internet dan kebetulan melewati judul-judul aneh semacam “jilbab bugil”, “berjilbab tapi telanjang”, “Sex jilbab”, “skandal bokep gadis jilbab”, atau di keseharian kita menemukan cewek berjilbab tapi bergaulnya dengan lawan jenis sangat Laa Haula wa laa quwwata illa billah, ngakak-ngakak, meluk-meluk, jalan bergandengan, bergoncengan, maka jangan terlalu heran, dan cepat-cepat memvonis jilbaban kok rusak gitu.

Karena sekali lagi, moralitas tak ada hubungan dengan jilbab, meski tentu saja dituntut dari gadis berjilbab untuk bermoral sesuai dengan jilbabnya.

Jadi, kesimpulannya, jilbab adalah wajib dikenakan tiap muslimah yang telah memasuki usia baligh, tanpa melihat apakah moralnya baik atau jelek. Dan moral adalah sesuatu yang dituntut dalam kehidupan sosial.

Maka, itu yang harus diketahui setiap muslimah terlebih dahulu. Adapun setelahnya jika dia tidak mengenakan, maka tentu saja berkonsekwensi dosa dan ada keharusan dari yang lain mengingatkannya untuk mengenakan, kalaupun tidak mau, yang menasehati bebas tugas. Dan tentu saja sebaliknya, jika dia mengenakan, maka pahala akan terus mengalir padanya selama jilbab itu bertengger di kepalanya, sebagai bentuk balasan atas ketaatan menjalankan perintah.

Soal jilbabnya lebar, kecil, bajunya ketat, longgar, itu bab menyendiri lagi yang berhubungan dengan tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang.

Tapi ingat, jangan punya pikiran “wah kalau gitu, aku urakan saja deh, kan dosaku pasti dikurangi pahala jilbab”, Kalau yang jenis seperti ini, sudah tahu begini, justru dosanya berlipat sebab menyalah gunakan syariat.

Akhir catatan, semoga kita selalu diberi taufiq untuk kebaikan, dan menjalankan kewajiban agama kita sebaik-baiknya. Amin…



Barusan saya teringat dengan status teman di situs jejaring sosial beberapa waktu lalu yang menulis tentang celaan terhadap teman nya, berjilbab tapi akhlaknya tidak bagus. Dan sms dari adik tingkat saya yang isinya tentang berjilbab...

Bagi saya sendiri berjilbab selalin sebagai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslimah, sebagai rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada saya.

Saya memang belum lama memakai jilbab (yahh baru setahun terakhir ini, sebelumnya saya memakai jilbab hanya pada saat kekampus saja). Dulu saya sering berpikir untuk apa repot-repot memakai jilbab, lebih baik menunggu hidayah datang baru saya memakai jilbab, lebih baik menjilbabi hati dulu sebelum memakai jilbab yang sebenarnya, berjilbab nanti saja setelah saya siap, berjilbab setelah saya menikah saja, lagipula memakai jilbab itu kan gerah, tidak bisa mengikuti tren pakaian jaman sekarang (pakaian adek kalau dosen saya bilang), dan bla...bla...bla (berbagai alasan lain untuk tidak memakai jilbab). Tapi pada suatu hari ketika sedang berdiskusi dengan salah seorang teman, saya diberitahu, "hidayah itu tidak akan datang kepada kita jika kita tidak menjemputnya..." Kata2 itu selalu terngiang2 ditelinga saya. Sampai akhirnya saya memantapkan hati memutuskan untuk memakai jilbab sepenuhnya.. Saya tidak ingin terus-terusan merendahkan harga diri saya dengan memamerkan aurat saya. Saya tidak ingin meninggal (jika saya meninggal saat ini juga) dengan tidak melakukan kewajiban saya sebagai seorang muslimah. Mudah-mudahan Allah SWT meridhoi saya.

Sekarang saya menyadari keuntungan dari memakai jilbab, selain hati menjadi tenang, sudah tidak ada lagi yang usil kepada saya (mungkin karena mereka menghargai karena melihat saya memakai jilbab), juga perkataan yang lebih terjaga di bandingkan dulu sebelum memakai jilbab (malu dong sama jilbab kalau tidak bisa menjaga perkataan dan perbuatan :D).

Postingan di atas peringatan untuk saya sendiri supaya tetap istiqomah memakai jilbab sekaligus menjaga akhlak yang baik, karena kedua-duanya merupakan kewajiban sebagai muslim, jilbab tidak menjamin akhlak kita bagus, namun akhlak yang baik mempengaruhi kualitas jilbab kita...makasih buat ocha dan trisnah...

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...